Selasa, 02 November 2021

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA Kerajaan Islam di Jawa

 2. Kerajaan Islam di Jawa










a) Keajaan Demak



Kerajaan Demak adalah kesultanan islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Raden Patah dianggap sebagai pendiri dari kerajaan Demak dan merupakan orang yang berhubungan langsung dengan kerajaan Majapahit.

Salah satu bukti menyebutkan bahwa beliau adalah putra dari raja Brawijaya V dari Majapahit (1468-1478). Beliau memerintah dari tahun 1500-1518. Di bawah pemerintahnya, Demak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan Demak memiliki daerah pertanian yang sangat luas sebagai penghasil bahan makanan terutama beras. Oleh karena itu, Demak menjadi kerajaan agraris-maritim. Wilayah kekuasaan Demak tak hanya sebatas pantai utara Jawa, seperti Semarang, Jepara, Tuban, dan Gresik tapi hingga ke Jambi dan Palembang di Sumatera timur.



Kerajaan Demak dikenal sebagai kerajaan terkuat di Jawa pada awal abad ke-16. Seperti yang telah disebutkan, Sultan Trenggono adalah sosok yang membawa kerajaan ini ke masa kejayaan. Bukan cuma Sunda Kelapa, wilayah-wilayah lain seperti Tuban, Madiun, Surabaya, Pasuruan, Malang, dan kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan, berhasil dikuasai.

Sultan Trenggono juga melakukan pernikahan politik lewat perjodohan Pangeran Hadiri dengan puterinya; Pangeran Paserahan dengan putrinya (lalu memerintah di Cirebon); Fatahillah dengan adiknya; Joko Tingkir dengan adiknya. Sultan Trenggono gugur selepas pertempuran menaklukkan Pasuruan pada 1946 dan posisinya lantas digantikan Sunan Prawoto.



Kerajaan ini bertahan sampai tahun 1546 setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Panangsang dengan Adiwijoyo. Sunan Kudus ulama yang besar rupanya memihak kepada Arya Panangsang karena memang dia yang berhak melanjutkan kesultanan. Akan tetapi Arya Panangsang dibunuh oleh Adiwijoyo (Joko Tingkir). Dengan tindakan ini berakhirlah Kerajaan Demak dan Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.

Sejumlah peninggalan sejarah menjadi bukti dari keberadaan Kerajaan Demak. Sebagian di antaranya masih berdiri dan disimpan sampai sekarang, antara lain:

Masjid Agung Demak. Bangunan ini adalah peninggalan yang paling terkenal dan menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Demak. Masjid Agung Demak sempat mengalami beberapa kali renovasi dan dikenal akan keunikan gaya arsitekturnya yang sarat nilai filosofi;



Masjid Agung Demak (Sumber: helmiaira.wordpress.com)


· Pintu Bledek. Kata bledek yang berarti petir membuat peninggalan ini kerap disebut sebagai Pintu Petir. Adalah Ki Ageng Solo yang membuatnya pada 1466 sebagai pintu utama dari Masjid Agung Demak.

· Soko Tatal atau Soko Guru. Soko Guru merupakan tiang berdiameter 1 meter yang berperan sebagai penyangga masjid. Ada empat Soko Guru yang menurut kepercayaan dibuat Kanjeng Sunan Kalijaga untuk Masjid Agung Demak;

· Dampar Kencana. Dampar Kencana merupakan singgasana para raja/sultan yang pernah memimpin Kerajaan Demak.



b) Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Islam Demak. Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging yakni di lereng Gunung Merapi. Ia adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di Pajang. Pasca membunuh dan merebut kekusaan Demak dari Aria Penangsang, seluruh kekuasaan dan benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Jaka Tingkir mendapat gelar Sultan Hadiwijaya dan sekaligus menjadi raja pertama Kerajaan Pajang.









































Peralihan kekuasaan politik dari keturunan Sultan Demak kepada Sultan Pajang Adiwijoyo diikuti oleh perubahan pusat pemerintahan dari pinggir laut yang bersifat maritim, ke pedalaman yang bersifat pertanian (agraris).

Islam yang semula berpusat di pesisir utara Jawa (Demak) dipindahkan ke pedalaman membawa pengaruh yang besar dalam penyebarannya. Selain Islam yang mengalami perkembangan, politik juga mengalami perkembangan. Pada masanya, Jaka Tingkir memperluas kekuasaannya ke arah timur hingga Madiun di area pedalaman tepi aliran sungai Bengaawan Solo. Pada tahun 1554 Jaka Tingkir mampu menduduki Blora dan Kediri pada 1577. Karena Kerajaan Pajang dengan raja-raja di Jawa Timur sudah bersahabat, pada tahun 1581 Jaka Tingkir mendapat pengakuan sebagai sultan Islam oleh raja-raja penting di Jawa Timur.

Jaka Tingkir memimpin hingga tahun 1587 dan meninggal pada tahun yang sama. Pasca meningglnya sultan Pajang tersebut, estafet kekuasaan jatuh pada Aria Pengiri yakni menantunya yang juga adalah anak dari Sultan Prawoto. Aria Pengiri pada saat itu mendapat kekuasaan di Demak bersama para pejabat bawaannya pindah ke Pajang untuk menjadi pengganti Jaka Tingkir, sementara anak dari Jaka Tingkir yakni Pangeran Benowo mendapat kekuasaan di Jipang yang sekarang bernama Bojonegoro.







Masjid Laweyan merupakan salah satu peninggalan dari Kerajaan Pajang



Pangeran Benowo merasa tidak puas dengan hasil yang diterimanya yakni menjadi penguasa di Jipang, alhasil Pangeran Benowo meminta bantuan Senopati pemimpin Mataram untuk mengusir raja baru di Pajang tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1588 Kerajaan Pajang mampu dikuasinya. Sebagai ungkapan terimakasih, Pangeran Benowo menawarkan untuk menyerahkan haknya yakni warisan dari sang ayah untuk Senopati.



Tetapi, Senopati ingin tetap tinggal di Mataram, akhirnya Senopati hanya meminta pusaka kerajaan saja. Kemudian Pangeran Benowo dikukuhkan menjadi raja Pajang dan Kerajaan Pajang sepakat berada di dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung namun akhirnya Kerajaan Pajang dihancurkan.

Senin, 01 November 2021

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA Kerajaan Islam di Sumatra


1. Kerajaan Islam di Sumatra


(*adapun Kerajaan Sriwijaya yang dahulunya bercorak Budha, sejak mengalami keleahan dan bahkan runtuh sekitar abad ke-14 M, mulailah proses Islaisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang, dan kemudia berdiri Kesultanan Palembang)



Gambar. Peta Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra


Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak Aceh Timur, disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Dan Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya.

a) Kerajaan Perlak



Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang, disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Peureulak didirikan oleh para pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di wilayah itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. Dari perkawinan tersebut ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, bernama Alaudin Syah. Kerajaan Perlak sempat pecah menjadi dua. Salah satu berada di pedalaman dengan pusatnya di Tonang dan satunya di daerah pesisir di Bandar Khalifah. Karena pecah menjadi dua maka kekuasaannya menjadi kecil dan bahkan tidak lagi disebut sebagai kerajaan. Perjalanan sejarah Kerajaan Perlak diwarnai dengan berbagai peperangan termasuk dengan perang dengan Sriwijaya. Kerajaan Perlak masih ada sampai 1296 M. Raja terakhir Muhammad Amir Syah mengawinkan putrinya dengan Malik Shaleh (Malikussaleh). Kemudian, Malikussaleh mendirikan kerajaan Samudera Pasai.


b) Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya. Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai. Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu, ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah. Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di Samudera Pasai, yakni:

a. Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh).

b. Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.

c. Sultan Muhammad, wafat tahun 1354.

d. Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383.

e. Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.

f. Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.

Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah, sejarawan dari Maroko. Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada tahun 1345-1346. Ibnu Batutah menyebutnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya untuk nama Samudera, yang kemudian menjadi Sumatera. Ketika singgah di pelabuhan Pasai, Batutah dijemput oleh laksamana muda dari Pasai bernama Bohruz. Lalu laksmana tersebut memberitakan kedatangan Batutah kepada Raja. Ia diundang ke Istana dan bertemu dengan Sultan Muhammad, cucu Malik as-Saleh. Batutah singgah sebentar di Samudera Pasai dari Delhi, India, untuk melanjutkan pelayarannya ke Cina. Sultan Pasai ini diberitakan melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan Kesultanan Usmani Ottoman. Diberitakan pula, bahwa terdapat pegawai yang berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang mengabdi di istana Pasai. Oleh karena itu, karya sastra dari Persia begitu populer di Samudera Pasai ini. Untuk selanjutnya, bentuk sastra Persia ini berpengaruh terhadap bentuk kesusastraan Melayu kemudian hari. Berdasarkan catatan Batutah, Islam telah ada di Samudera Pasai sejak seabad yang lalu, jadi sekitar abad ke-12 M. Raja dan rakyat Samudera Pasai mengikuti Mazhab Syafei. Setelah setahun di Pasai, Batutah segera melanjutkan pelayarannya ke Cina, dan kembali ke Samudera Pasai lagi pada tahun 1347. Bukti lain dari keberadaan Pasai adalah ditemukannya mata uang dirham sebagai alat-tukar dagang. Pada mata uang ini tertulis nama para sultan yang memerintah Kerajaan. Nama-nama sultan (memerintah dari abad ke-14 hingga 15) yang tercetak pada mata uang tersebut di antaranya: Sultan Alauddin, Mansur Malik Zahir, Abu Zaid Malik Zahir, Muhammad Malik Zahir, Ahmad Malik Zahir, dan Abdullah Malik Zahir. Pada abad ke-16, bangsa Portugis memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera Pasai pada 1521 hingga tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu itu yang menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat.


c) Kesultanan Aceh Darussalam



Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M. Di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M), dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai.

Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.

Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).

Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.

Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).

Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.

Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.

Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.

Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.



d) Kerajaan Pagaruyung



Gambar. Istano Basa Pagaruyung (Foto: Istimewa)

Kesultanan Pagaruyung merupakan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sumatera Barat. Diketahui, kerajaan ini sebelumnya adalah bagian dari kerajaan Malayapura pimpinan Adityawarman. Tetapi tidak diketahui dengan pasti kapan berdirinya Pagaruyung karena masih terbatasnya sumber yang ditemukan untuk menjelaskan kerajaan tersebut. Namun dalam prasasti Batusangkar disebutkan bahwa Adityawarman pernah menjadi raja di Pagaruyung. Terdapat beberapa sumber yang mengatakan bahwa ketika Adityawarman memerintah di sana, ia memindahkan pusat pemerintahan Pagaruyung ke wilayah pedalaman Minangkabau. Pengaruh Islam di Pagaruyung diperkirakan berkembang sekitar abad ke-16 oleh para musafir dan ahli agama yang singgah ke wilayah Aceh dan Malaka. Orang yang dianggap pertama kali menyebarkan Islam di Pagaruyung adalah Syaikh Bruhanuddin Ulakan, salah satu murid dari ulama Aceh bernama Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala).

Pada abad ke-17, kerajaan Pagaruyung yang sebelumnya bercorak agama Hindu, berubah menjadi bercorak Islam dan menggantinya menjadi kesultanan Pagaruyung. Menurut Tambo adat Minangkabau, raja Pagaruyung yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam ke Pagaruyung, maka segala bentuk peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam mulai dihilangkan dan diganti dengan aturan Islam. Walaupun masih ada sebagaian kebiasaan yang tidak dapat dihilangkan, tetapi tidak bertentangan dengan agama Islam.

Kesultanan Pagaruyung mulai mengalami kemunduran setalah terjadi perang saudara antara kaum Padri (Ulama) dengan orang-orang yang masih mengingkan pemerintahan sesaui dengan adat istiadat sebelumnya.

Perang yang melibatkan dua kelompok masyarakat itu terjadi cukup lama, terhitung sejak tahun 1803 sampai 1838. Pemicu utama dari peperangan tersebut adalah adanya penolakan dari sebagain masyarakat terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama. Masih banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan lama yang bertentangan dengan agama Islam, seperti perjudian, minuman keras, penggunaan madat, tidak dilaksanakannya kewajiban dalam Islam, dan lain sebagainya.

Kekuasaan raja di Pagaruyung sudah sangat lemah, banyak wilayah kekuasaan Pagaruyung yang jatuh ke tangan Aceh, dan banyak masyarakat yang menolak segala peraturan yang dibuat oleh raja. Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman melakukan penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung pada 1815. Sultan Arifin Muningsyah dan anggota keluarga kerajaan terpaksa menyelamatkan diri dari ibukota kerajaan ke wilayah Lubuk Jambi. Kerajaan pun semakin terdesak oleh serangan yang dilakukan kaum Padri, sehingga mereka meminta bantuan Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah melakukan perjanjian dengan pemerintah Belanda untuk bekerja sama melawan kaum Padri dan mengambil alih kembali kerajaan Pagaruyung. Namun perjanjian itu dianggap oleh Belanda sebagai tanda penyerahan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.

Setelah pasukan Belanda berhasil memukul mundur kaum Padri dari wilayah Pagaruyung, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Pagaruyung dan menempatkan raja sebagai bawahannya. Kemudian Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah meminta bantua kaum Padri untuk menyingkirkan Belanda, tetapi upaya tersebut gagal dan ia dibuang ke wilayah Batavia dengan tuduhan penghianatan terhadap perjanjian yang telah dibuat.

e) Kearajaan Siak Sri Inderapura


Istana Kerajaan Siak (Sumber: wikipedia.org)

Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat.
Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan. Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan.

Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.

Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.

Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta.Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.

Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.Makam Sultan Syarif Kasim II terletak di tengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya di samping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.

Senin, 27 April 2020

Soal Proses Kedatangan dan Penyebaran Islam ke Nusantara

Silahkan Kerjakan Soal-soal di Bawah ini


Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau


B. ISLAM DAN JARINGAN PERDAGANGAN ANTARPULAU 


Gambar: Kapal-kapal Cina yang sudah berlayar hingga ke Kepulauan Indonesia 



                   Peta penyebaran Agama Islam ke Nusantara (Sumber : berbagaireviews.com)

Sudah ada perdagangan, sejak abad pertama Masehi di kepulauan Indonesia berdasarkan data arkeologi berupa prasasti-prasati serta data historis berupa berita-berita asing. Jalur – jalur pelayaran maupun perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan beberapa negara di Asia Tenggara, cina, dan India (Berdasarkan berita cina yang telah dikaji, diantaranya oleh W.Wolters (1967). 

Dari catatan-catatan di sejarah Indonesia dan Malaya yang telah di himpun dari sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang itu sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi hingga abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dan dari literatur Arab juga banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. 

Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan muncul jaringan perdagangan dan pertumbuhan yang disertai perkembangan kota- kota pusat kesultanan dengan kota- kota bandar pada abad ke-13 hingga abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh, Palembang, Demak, Siak Indrapura, Jambi, Minangkabau, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota- kota lainnya. Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Malaka dan Samudera Pasai yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke- 13 sampai abad ke- 15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan ada komunitas- komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) juga memberikan gambaran terkait keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional ataupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas maupun kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Persia, Gujarat, Arab, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga telah mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Persia, Ormuz, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva. 

Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa dapat disimpulakan adanya jalur- jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional. Hubungan pelayaran yang disertai perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudera Hindia menjadi semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan semakin maju perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkan Baghdad menjadi pusat pemerintahan yang menggantikan Damaskus (Syam) aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, dari abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan menuju ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan- kerajaan di Kepulauan Indonesia menjadi langsung. Hubungan itu menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab di larang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam pun melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan dari Raja Kedah dan Palembang. Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut telah mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif yakni dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. 

Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar serta lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh perompak laut (bajak laut) yang sering terjadi pada jalur perdagangan yang ramai, akan tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sendiri sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan itu dilakukan karena merosotnya keadaan politik serta mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial. Akibat aktivitas bajak laut tersebut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Tiku, dan Pariaman. Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) di bawa barang komoditi itu menuju Somba Opu, yakni ibukota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Blambangan, Banjar, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala pusatnya di Banda. Semua pelabuhan itu umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Arab, Cina, dan Makassar. Kehadiran pedagang tersebut mempengaruhi corak kehidupan serta budaya setempat, misalnya ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar). 


Pada abad ke- 15, Sulawesi Selatan didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Sumatra, dan Jawa,. Dalam perjalanan sejarah, masyarakat Muslim di Gowa yakni Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) serta putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang yakni dengan bangsa Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang juga turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama tersebut didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah- rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku. Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat. Dengan ditandai adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam yaitu Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa yang artinya raja cengkih, karena ia membawa cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) itu, hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang amat panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan yaitu putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang telah dikeringkan. Satu pohon tersebut ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg. Hamparan cengkih di tanam di perbukitan di pulau- pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, maupun Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil di tanam di pulau yang relatif besar, yakni Bacan, Ambon dan Seram. 

Meningkatnya ekspor lada dalam perdagangan internasional, membuat pedagang nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama untuk pasaran Eropa yang telah berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak sekali terjadi gangguan di laut sehingga bandar- bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi dari Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur- angsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, di tambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar untuk berkembangnya pelayaran Islam di Samudera Hindia. 

Meskipun banyak kota bandar, akan tetapi yang berfungsi hanya untuk melakukan ekspor dan impor komoditi, pada umumnya adalah kota- kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Goa-Tallo, Tidore, Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Gresik, Sedayu, dan Surabaya. 

Dalam proses perdagangan terjalin hubungan antar etnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan- kerajaan itu kemudian berkumpul dan membentuk suatu komunitas. Oleh karena itu, muncullah nama- nama kampung berdasarkan asal daerah. Contohnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pakojan, dan kampung- kampung lainnya yang berasal dari daerah- daerah asal yang jauh dari kota- kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Bandan, dan Kampung Bali. Pada masa zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang dilakukan dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang- pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang- kadang langsung kepetani. Transaksi tersebut dilakukan di pasar, baik di kota ataupun desa. Tradisi jual- beli dengan sistem barter sampai saat ini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa perkembangan Islam dan pertumbuhan telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat. 

Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer serta ekonomi dari Belanda, dan munculnya kerajaan- kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian terhadap perdagangan.

Proses Kedatangan dan Peyebaran Agama Islam ke Nusantara



ISLAMISASI DAN SILANG BUDAYA DI NUSANTARA 


A. KEDATANGAN ISLAM KE NUSANTARA 

Sebelum menjadi agama yang paling banyak dianut oleh orang Indonesia, Islam adalah salah satu agama yang diperkirakan datang karena adanya pedagang yang singgah di Nusantara Squad. Lalu, bagaimana ya awal mula Islam masuk ke Nusantara? dan Kapan Islam Datang ke Indonesia. Supaya lebih jelas, yuk simak penjelasan tentang teori Kapan Masukya Agama Islam dan 4 teori masuknya Islam ke Nusantara. 

   
                       Gambar: Pedagang Arab (sumber: tugassekolah.com) 


                        Gambar: Peta penyebaran Agama Islam ke Nusantara 

Berkaitan dengan kapan awal mula masuknya Agama Islam ke Nusantara, terdapat tiga pendapat tentang rentang waktu yang berbeda yaitu abad ke 7, abad ke 11 dan abad ke 13. Abad ke 7 diperkirakan bahwa pada abad tersebut mulai ada pedagang Islam yang singgah di wilayah Nusantara, sedangkan yang meyatakan Islam mulai ada pada abad ke 11 adalah didasarkan pada adanya makam Islam di Leran Gresik, yaitu makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M) batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, serta merupakan nisan kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara yang membuktikan telah ada komunitas masyarakat muslim di wilayah Nusantara. Dan yang menyatakan Islam mulai ada di Nusatara pada abad ke 13 adalah didasarkan pada adaya Kerajaan yang bercorak Islam di Nusantara. 

Selanjutnya kira-kira berasal dari mana dan bagimana proses kedatangan Islam ke Nusantara. Para ahli sejarah memberikan beberapa teori bagaimana proses masuknya Islam ke Nusantara. Masing-masing teori dijelaskan berdasarkan rentan waktu yang berbeda. Mulai dari abad ke 7, abad ke 11 hingga ada pula yang menyebutkan abad ke 13. Nah apa saja ya teori-teori yang dimaksud? 




Makam Fatima Binti Maimun (Sumber : Wikipedia.org) 

1. Teori Gujarat 
Teori ini beranggapan bahwa agama dan kebudayaan Islam dibawa oleh para pedagang dari daerah Gujarat, India yang berlayar melewati selat Malaka. Teori ini menjelaskan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara sekitar abad ke 13, melalui kontak para pedagang dan kerajaan Samudera Pasai yang menguasai selat Malaka pada saat itu. Teori ini juga diperkuat dengan penemuan makam Sultan Samudera Pasai, Malik As-Saleh pada tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh S. Hurgronje dan J. Pijnapel. 

                      Makam Sultan Malik As-Saleh (sumber: steemit.com) 

2. Teori Persia 
Umar Amir Husen dan Hoesein Djadjadiningrat berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari Persia, bukan dari Gujarat. Persia adalah sebuah kerajaan yang saat ini kemungkinan besar berada di Iran. Teori ini tercetus karena pada awal masuknya Islam ke Nusantara di abad ke 13, ajaran yang marak saat itu adalah ajaran Syiah yang berasal dari Persia. Selain itu, adanya beberapa kesamaan tradisi Indonesia dengan Persia dianggap sebagai salah satu penguat. Contohnya adalah peringatan 10 Muharam Islam-Persia yang serupa dengan upacara peringatan bernama Tabuik/Tabut di beberapa wilayah Sumatera (Khususnya Sumatera Barat dan Jambi). 

           










Prosesi Acara Tabuik (sumber: wartakepri.co.id) 

3. Teori Mekkah 
Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung oleh para musafir dari Arab yang memiliki semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia pada abad ke 7. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah perkampungan Arab di Barus, Sumatera Utara yang dikenal dengan nama Bandar Khalifah. 

Selain itu, di Samudera Pasai mahzab yang terkenal adalah mahzab Syafi’i. Mahzab ini juga terkenal di Arab dan Mesir pada saat itu. Kemudian yang terakhir adalah digunakannya gelar Al-Malik pada raja-raja Samudera Pasai seperti budaya Islam di Mesir. Teori inilah yang paling benyak mendapat dukungan para tokoh seperti, Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka. 

Islam juga sempat menjadi kekuatan yang cukup disegani di Nusantara, hal ini ditandai dengan munculnya banyak kerajaan Islam yang cukup terkenal dan berkuasa. Apa saja kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa? Sekarang kamu sudah paham kan bagaimana Islam bisa hadir di bumi Nusantara kita?. Selanjutnya kita akan belajar tetang pengaruh Agama Isla terhadap Nusanta terutama dalam bidang politik dan pemerintahan yaitu dengan terbentuknya Kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam.